Langsung ke konten utama

Menangkap Air Hujan Demi Memanjangkan Umur Mata Air

https://akurat.co/news/id-852353-read-menangkap-air-hujan-demi-memanjangkan-umur-mata-air

AKURAT.CO, * Lewat sumur resapan, air kembali ke dalam tanah, selanjutnya mengalir ke mata air-mata air di lereng gunung, di antaranya ke sumber air Djoebel.
* Tidak semua lokasi dapat dipakai untuk membuat sumur resapan. Untuk mencapai tujuan, harus menghindari area tanah liat karena akan menghambat serapan.
* Asep kembali mengingatkan tantangan terhadap sumber air-sumber air di depan akan sangat besar.



Siang hari itu, Muklis menjamu para tamu dengan makanan hasil pertanian organik, seperti kentang dan pisang godog.
Hasil bumi itu dimasak sendiri oleh tuan rumah beberapa waktu sebelum tamu tiba di rumah Muklis yang berada di Desa Claket, Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.

Ada beberapa alasan dia mengembangkan pertanian organik. Selain secara ekonomi lebih menguntungkan karena tidak bergantung pada pupuk non organik, juga karena dia ingin berkontribusi menjaga kualitas sumber air yang berada di daerahnya. Desa Claket berada pada catchment area sumber air Djoebel.
   Dia mengajak kelompok-kelompok tani untuk ikut mengembangkan pertanian organik. Siang itu, Muklis mengaku bersyukur karena sekarang tidak sendirian. Dia sudah bermitra dengan kelompok-kelompok pertanian organik yang lain.
Selain ikut menjaga kualitas air tanah agar tidak terkontaminasi bermacam-macam bahan tak ramah lingkungan lewat pertanian organik, Muklis merupakan salah satu warga Pacet yang memiliki kesadaran untuk meningkatkan ketersediaan air tanah dengan cara menghibahkan pekarangan untuk pembangunan sumur resapan.
Sumur resapan dibangun di halaman rumah sebelah kiri. Sumur resapan merupakan metode untuk meningkatkan sumber air dengan cara menampung air hujan -- agar tak mengalir kemana-mana – untuk diresapkan kembali ke dalam tanah.
Air yang meresap kembali ke dalam tanah, selanjutnya mengalir ke mata air-mata air di lereng gunung, di antaranya ke sumber air Djoebel.
Muklis yang ketika itu didampingi oleh petugas Garda Penyelamat Sumber Mata Air, Iyat, memuji daya serap air sumur resapan buatannya. Di musim penghujan, meskipun air menggerojok deras selama tiga jam, sumur resapan tidak bakal penuh.
“Jadi kita lihat gini, kalau struktur tanahnya pasir berbatu, daya serapnya tinggi. Tapi kalau tanahnya banyak liatnya, daya serapnya lama. Jadi kalau bangun sumur resapan ini, kita mesti pandai-pandai pilih tempat,” kata Muklis.
“Sumur resapan itu beda dengan sumur biasa. Sumur air biasa itu kalau ada airnya, bagus. Kalau sumur resapan, begitu hujan, lalu airnya hilang, jtu justru bagus. Air ditampung dan diresapkan ke tanah,” Program Coordinator Coca Cola Foundation Indonesia Agus Priyono menambahkan.
Raw Water Spesialist Program USAID IUWASH PLUS Asep Mulyana ketika ikut melihat sumur resapan di rumah Muklis menjelaskan secara regional IUWASH PLUS sudah menentukan lokasi untuk pembuatan sumur resapan.
Tidak semua lokasi dapat dipakai untuk membuat sumur resapan. Seperti yang diutarakan Muklis, untuk mencapai tujuan pembangunan sumur resapan harus menghindari area tanah liat karena akan menghambat serapan.
Tetapi di Desa Claket, kata Asep, merupakan kawasan batuan gunung berapi dan berpasir.
Sumur resapan buatan Muklis memiliki kapasitas delapan meter kubik per detik. Kedalaman sumur sekitar dua meter.
Muklis berinovasi dengan membuat dinding sumur dengan batu bata. Sebenarnya, dinding tanpa batu-bata justru lebih bagus karena daya serapnya tinggi.
“Ini saja dengan model sumur resapan berbata sudah cepat sekali resapannya. Apalagi kalau nggak ada batanya. Pak Muklis sudah berinovasi. Konsep awal, ingin jaga umur dan kekuatan dinding kiri dan kanan, dia buat pakai bata, walau pun itu sebenarnya mengurangi tingkat kecepatan air masuk ke dalam. Tapi tidak jadi masalah asalkan kecepatan air masuk ke tanah dan air yang masuk ke sumur seimbang. Karena kalau tidak, air akan membeludak, keluar kembali,” kata Asep.
Biaya untuk membangun sumur resapan di pekarangan Muklis sekitar Rp7,5 juta. Tapi biayanya bisa jauh lebih murah kalau tidak menggunakan dinding batu bata.
Ada beberapa manfaat sumur resapan yang sudah dirasakan. Pertama, air hujan yang dulu sering membanjiri rumah penduduk yang posisinya di bawah rumah Muklis, kini sudah tidak ada lagi.
Manfaat yang kedua, sumber air-sumber air di lereng maupun kaki Gunung Welirang, seperti Djoebel, terisi lagi.
Pemeliharaan sumur resapan tidak sulit. Biasanya dilakukan warga setiap tahun dua kali untuk menjaga kebersihan. Waktu pembersihan dilakukan setiap menjelang musim hujan karena biasanya banyak sampah menumpuk dan setelah musim hujan banyak sedimennya.
“Untuk pembersihan ijuk dan krikil di dalam sumur kami lakukan dengan melihat kondisi. Kalau daerahnya itu terlalu banyak lumpur dan sampah, itu segara kami angkat ijuknya, kami cuci dan dipakai lagi. Jadi ini kami lakukan rutin,” kata Iyat.
Gangguan terhadap sumur resapan yang biasa terjadi, antara lain lahannya dipakai untuk pembangunan rumah.
Yang dilakukan oleh Muklis serta penduduk desa yang berada di wilayah tangkapan air Pacet berangkat dari kesadaran mereka bahwa ketersediaan air tanah semakin menyusut.
Agar tak sampai terjadi krisis air karena imbas pembangunan di daerah tangkapan air bagian hulu, mereka menghibahkan pekarangan rumah untuk pembangunan sumur resapan.

Sumur resapan di pekarangan rumah Muklis merupakan satu dari 900 sumur resapan yang pembangunannya dibantu oleh Coca Cola Foundation Indonesia yang berkolaborasi dengan IUWASH PLUS dan PDAM Kabupaten Mojekerto. Tujuannya untuk meningkatkan kembali ketersediaan air tanah di kabupaten itu.
Agus Priyono mengatakan sumber air Djoebel dan sejumlah tempat pengambilan air bersih yang dikelola PDAM Kabupaten Mojokerto dulu mampu menyuplai kebutuhan air untuk penduduk Kota Mojokerto, Kabupaten Mojokerto, hingga Kota Surabaya.
Tetapi seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan kerusakan daerah hulu akibat perubahan bentang lahan, terjadi masalah pada kemampuan suplai air. Sekarang, air dari sumber air-sumber di Pacet hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan penduduk Kabupaten Mojokerto.
Daerah tangkapan air sumber Djoebel luasnya mencapai ribuan hektar. Tapi wujudnya bukan lagi hutan semuanya, sebagian besar telah berubah fungsi menjadi pemukiman penduduk.
Seperti di sekitar sumber air Djoebel, hutan di sekitarnya tidak luas. Di bagian atasnya merupakan pemukiman warga yang semakin lama semakin berkembang.
Jika tidak ada upaya pelestarian sumber air seperti yang dilakukan Muklis, lambat laun air tanah semakin terkuras habis dan sudah pasti mengganggu kehidupan masyarakat, terutama PDAM yang selama ini menjadikan Djoebel sebagai salah satu andalan tempat pengambilan air bersih.
Itu sebabnya, dengan kondisi mayoritas daerah tangkapan air yang sudah berubah menjadi pemukiman penduduk, pendekatan pembangunan sumur resapan dirasa menjadi yang paling tepat untuk kembali meningkatkan aliran sumber air.
Sejak akhir 2012 hingga awal 2014, dibangun sebanyak 650 sumur resapan yang tersebar di sekitar Pacet, yaitu di Desa Claket, kemudian Desa Padusan, dan Desa Pacet (Kecamatan Pacet). Tahap berikutnya, pada 2014 dibangun lagi sebanyak 250 sumur resapan di Desa Wiyu (Kecamatan Pacet) serta Desa Sumberjati (Kecamatan Jatirejo).
Total sumur resapan yang telah dibangun sebanyak 900 buah. Daerah Pacet dan sekitarnya dipilih karena merupakan kawasan tangkapan air untuk wilayah Mojokerto, Sidoarjo, sampai Kota Surabaya.
“Dulu, sebelum program masuk ke sini, mata airnya sudah turun drastis. Sehingga mereka (PDAM) mau bikin sumur bor untuk ambil air di tempat lain supaya bisa mengurangi kekurangan mata air di sini. Tetapi setelah dibangun sumur resapan, debit air di sini berkembang cukup bagus,” kata Agus ketika saya temui di Djoebel.
Pertimbangan pembangunan sumur resapan air di Pacet dan sekitarnya didasarkan pada informasi dari IUWASH PLUS bahwa beberapa daerah debit mata airnya mengalami penurunan drastis. 
Kondisi hulu air di Kabupaten Mojokerto juga sama seperti yang terjadi di daerah-daerah lain di Indonesia.
CCFI sejauh ini sudah membangun sumur resapan di enam wilayah, yakni Sibolangit dan Pematang Siantar di Provinsi Sumatera Utara, Salatiga dan Semarang di Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Mojokerto, dan Kabupaten Malang di Jawa Timur.
“Jadi mata-mata air itu yang coba kita selamatkan. Semoga pemerintah nasional mengadopsi model ini untuk selamatkan mata air. Karena mata air di Indonesia itu punya problem gede, tetapi data mata air kita nggak ada. Sehingga tidak diketahui secara pasti mata air mana saja yang mengalami krisis,” kata Agus.
Agus menjelaskan permasalahan mata air di Indonesia umumnya terjadi karena daerah tangkapan air telah berubah fungsi. Dulu hutan atau sawah, kemudian berubah menjadi pemukiman. Lalu, fungsi tangkapan air hilang. Air hujan yang biasanya meresap ke tanah pun lenyap sehingga mata air-mata air mati dengan sendirinya.
“Coba ingat, dulu waktu kecil kan banyak sungai kan. Sekarang sungai rata-rata mengering. Karena sumber mata airnya sekitarnya nggak ada, berubah jadi pemukiman. Semoga pemerintah aware dan itu diatasi,” kata Agus.
Dia mengapresiasi warga Kabupaten Mojokerto yang kooperatif dalam mencegah krisis air bersih, bahkan mereka rela menghibahkan tanah untuk dijadikan area resapan air dan merawatnya.
Semenjak ada sumur resapan, warga merasakan sendiri manfaatnya.
Seperti yang sudah diceritakan oleh Muklis, debit air di bagian hulu tetap mencukupi sekalipun musim kemarau.
Bahkan, PDAM Kabupaten Mojokerto yang sebelum ada sumur resapan berencana melakukan pengeboran sumur baru untuk meningkatkan pasokan air, akhirnya tidak jadi. Mereka menilai aliran air dari sumber air sudah mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.
Dampak lainnya lagi bagi masyarakat, seperti juga sudah disinggung oleh Muklis, ketika musim hujan, banjir lokal sudah tidak terjadi lagi sehingga konflik sosial menurun.
Secara ekonomi, warga juga merasakan manfaat secara langsung. Mata air-mata air kecil yang selama ini dikelola sendiri oleh masyarakat debit airnya ikut meningkat.
***
Sepanjang perjalanan dari Mojosari ke Kecamatan Pacet, di sisi kiri dan kanan kini berdiri banyak pemukiman penduduk maupun pusat-pusat aktivitas masyarakat.
Kondisi tersebut tentu saja menimbulkan dampak terhadap siklus air. Kondisi seperti itu sebenarnya tak hanya terjadi di Pacet, di daerah-daerah lain juga mengalami hal yang sama.
“Tahun ini saja kita sudah melihat seperti ini (antara lain menyusutnya air). Dua puluh tahun kalau kita tidak hati-hati dalam penggunaan tata guna lahan, akan semakin menurunkan kondisi masuknya air hujan ke dalam tanah,” kata Raw Water Spesialist Program USAID IUWASH PLUS Asep Mulyana ketika saya temui di sumber air Djoebel, Dusun Gendom, Desa Kembangbelor, Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.
Itu sebabnya, untuk mengamankan mata air, seperti Djoebel, penggunaan tata guna lahan harus lebih sensitif.
Walaupun mungkin karena kebutuhan pembangunan mau tidak mau akan terjadi konversi lahan, menurut Asep, tetap harus bijaksana. Sebelum melakukan perubahan fungsi lahan dilakukan kajian terlebih dahulu. Kemudian disiapkankan alternatif teknologi atau pendekatan lain agar fungsi air tidak terganggu.
Dampak paling nyata terjadi di sumber air Djoebel. Jika melihat instalasi di sumber Djoebel, Asep yakin dulu (1927) didesain Belanda untuk debit air lebih dari 100 liter per detik.
Tapi setelah dilakukan pengukuran lagi sekitar tahun 2012, debit airnya hanya sekitar 18,7 liter per detik.
Melihat kondisi itu, diperlukan tindakan penyelamatan. Perlu dilakukan konservasi air dengan cara pembuatan sumur-sumur resapan, yang kemudian pembangunannya dimulai secara bertahap sejak 2012 di Kecamatan Pacet.
Beberapa tahun setelah pembangunan dilakukan, manfaatnya mulai dirasakan, di antaranya peningkatan debit air, terutama untuk sumber air Djoebel.
“Alhamdulilah saya dapat data terakhir dari Pak Fayakun (Direktur PDAM Kabupaten Mojokerto) kemarin hari, debit masih di atas 60, 70, 80. Padahal tahun 2011 debitnya 20 liter per detik, kalau sekarang di atas 60 kan berarti ada peningkatan tiga kali lipatnya,” kata Asep.
Krisis air tanah yang sekarang terjadi di berbagai daerah sebetulnya bukan bencana alam, melainkan bencana kemanusiaan.
“Mohon dicatat. Itu bukan bencana alam, tetapi kesalahan manajemen manusia,” kata Asep.
Kenapa disebut kesalahan manajemen manusia? Karena walaupun tata guna lahan terganggu, selama di tanah masih bisa meresapkan air hujan, tidak akan pernah terjadi krisis air.
Artinya, masyarakat sebenarnya bisa manfaatkan kondisi apapun agar air tanah tetap lestari. Salah satunya pendekatannya melalui pembuatan sumur resapan.
“Satu hal analogi saya, yang kita lakukan dengan sumur resapan itu tidak mengganti lahannya, tidak ganti medianya, alamnya. Yang kita ganti itu yang tadinya air diresapkan sendiri oleh alam, sekarang kita paksa air masuk ke dalam tanah lewat sumur resapan.”
Asep kembali menekankan adanya tren penurunan debit mata air di Indonesia, baik itu yang berada di Malang, Serang, Bandung, Makassar, Ternate. Rata-rata penurunannya di atas 35 persen sampai 60 persen.
Bahkan, banyak mata air yang sudah kering. Agus mengutip Mongabay yang mendapatkan data dari Walhi Jawa Timur, daerah Malang dan sekitarnya sudah hampir 49 mata air mati.
“Saya yakin di atas sumber Djoebel ini juga sudah banyak yang mati. Karena apa? Mata air ini bagaikan dispenser yang dikasih pencetan. Karena muka airnya sudah turun, otomatis yang paling atas nggak kebagian, di bawah masih ada, dan sebagainya,” kata Asep.
Asep mengingatkan persoalan ini merupakan tantangan serius masa depan. Menurut dia tidak hanya diperlukan solusi seperti pembuatan sumur resapan, kebijakan juga menentukan untuk keberhasilan pelestarian air.
Program pengembalian air ke sumber air melalui sumur resapan di Kecamatan Pacet hanyalah salah satu contoh supaya masyarakat di daerah lain menirunya.
“Ini tidak cukup hanya CCFI, IUWASH PLUS, PDAM, tetapi kita harus sama-sama. Makanya kalau kita lihat kondisi krisis air seperti ini, ini bukan krisis kok sebenarnya, tetapi kita salah pengelolaan, salah penghitungan dan sebagainya,” kata Asep.
Asep menekankan krisis air tanah juga berdampak pada sungai-sungai. Kalau mata airnya kering, maka sungai-sungai, misalnya Citarum, Ciliwung, Brantas, sudah pasti akan mengering.

“Karena apa? Sumber Brantas juga berasal dari mata air yang ada di catchment area, di DAS-nya, baik dari Malang, Mojokerto dan sebagainya. Citarum juga sama, baik Bandung Selatan, Bandung, mengering, Citarum akan mongering,” kata Asep.
Penyebab kekeringan sebetulnya bukan karena air hilang, tapi karena di musim penghujan, air tidak ditahan. Seandainya air hujan ditahan, di antaranya lewat sumur resapan, masyarakat tidak akan pernah kekurangan air.
“Kita bisa berhitung kok berapa jumlah hujan misalnya di catchment area Djoebel. Karena airnya itu tetap, siklus, dan tidak pernah berubah jumlahnya. Yang berubah itu distribusi dan kualitas. Dua poin itu yang berubah. Volume sama. Bapak ibu minum kopi pagi, tetap akan dikeluarkan dalam bentuk air. Dipakai mandi, masuk juga air (ke tanah). Hanya itu siklusnya,” kata dia.
“Hanya kebetulan Tuhan masih berbaik hati. Air dikembalikan lagi jadi uap air, lalu jatuh lagi dalam bentuk hujan. Nah itu yang tidak kita sadari bahwa kita harus tangkap pada saat musim hujan,” Asep menambahkan.
Asep kembali mengingatkan tantangan terhadap sumber air-sumber air di depan akan sangat besar. Sebagai contoh, sepanjang tepi jalan menuju Kecamatan Pacet, banyak pembangunan fisik yang tidak lagi mengindahkan lereng. Kondisi itu tentu akan mengganggu kapasitas lahan.
“Dan orang kota kan senengnya tidak hanya manjakan perut, mata pun dimanjakan, semakin tinggi ke atas, semakin bagus, semakin mahal, sementara itu semakin merusak kapasitas lahan. Bukan berarti tidak boleh (membangun), boleh, tetapi kembali bagaimana kalau kita ubah sebuah lahan di atas, bagaimana kita menggantinya. Itu lho. Bagaimana menggantinya,” kata dia.
“Boleh lahan dipakai, tetapi bagaimana caranya jangan mengganggu air, lingkungan, ekosistem dan sebagainya,” Asep menambahkan.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika memperkirakan wilayah hulu Mojokerto atau kawasan Pacet dan sekitarnya pada 2040 akan mengalami penurunan curah hujan sekitar 20 persen.
GIS Specialist di Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketangguhan USAID Erstayudha Nurrizqi menjelaskan dengan penurunan curah hujan sebesar 20 persen, akan memperparah kelangkaan air di kawasan bagian bawah.
Untuk mengantisipasi kelangkaan air, APIK USAID bekerjasama dengan Aliansi Air, seperti Multi Bintang Indonesia, bekerja menyadarkan sadarkan tentang pentingnya konservasi air, terutama di daerah tangkapan air.
Mereka juga melakukan pendekatan sumur resapan di Kota Malang dan Batu. Tapi modelnya sumur komunal. Artinya, satu sumur resapan bisa digunakan untuk empat sampai lima rumah. Model sumur komunal dipilih karena wilayahnya sempit karena berada di perkotaan. Berbeda dengan di pedesaan yang lahannya masih banyak yang bisa digunakan.
Asep menambahkan apa yang dilakukan PDAM Kabupaten Mojokerto, berkolaborasi dengan lembaga swadaya masyarakat untuk menjaga kelestarian di bagian atas sumber air dan menjaga sumur resapan merupakan hal yang bagus sebagai upaya untuk meningkatkan ketersediaan air tanah.
“Sumur resapan dipilih karena apa? Karena sumur resapan yang akan berdampak langsung terhadap kondisi air tanah. Berdampak lebih cepat terhadap peningkatan cadangan, kualitas, dan kuantitas air tanah. Kalau dengan menanam pohon, mohon maaf, bukan tidak perlu, sangat perlu. Tetapi kalau tujuannya untuk meningkatkan cadangan air, mohon lupakan menanam pohon. Tetapi kalau konservasi di lingkungan secara menyeluruh kita sama, wajib untuk menanam. Apalagi kalau dikombinasikan, bikin sumur resapan dengan menanam. Itu luar biasa cakepnya,” kata dia. []

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JASA SUMURBOR DI MEDAN

 Pembuatan Sumurbor dalam 240M di Lokasi Serdang Bedagai

#1 JASA SUMURBOR MEDAN - SUMATERA UTARA

 

#1 JASA PEMBUATAN SUMURBOR DI MEDAN - SUMATERA UTARA

Pembuatan Sumurbor di lokasi Janggir Leto - Simalungun Pematang Siantar